Sengketa batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait empat pulau di kawasan perairan Aceh Singkil kembali menjadi sorotan publik. Keempat pulau tersebut Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang saat ini secara administratif dinyatakan masuk dalam wilayah Sumatera Utara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.
Pernyataan tersebut memicu berbagai reaksi dari tokoh masyarakat dan budayawan Aceh. Salah satu yang angkat bicara adalah Muhammad Fiqram, Putra Budaya Indonesia Tahun 2024 asal Aceh. Ia menyampaikan keprihatinan atas potensi konflik yang timbul akibat keputusan yang dinilai tidak melibatkan aspirasi masyarakat adat setempat.
“Keempat pulau itu bukan sekadar wilayah geografis bagi masyarakat Aceh. Itu adalah ruang hidup, warisan sejarah, dan bagian dari jati diri budaya kami yang sudah dijaga turun-temurun,” ungkap Fiqram.
Sebagai representasi generasi muda yang aktif dalam pelestarian budaya, Fiqram menekankan bahwa wilayah budaya tidak dapat dilepaskan dari aspek kedaerahan, terutama di daerah seperti Aceh yang memiliki status kekhususan. Ia menilai bahwa keputusan administratif pusat seharusnya tidak mengabaikan konteks historis dan sosial-budaya masyarakat lokal.
“Melestarikan budaya itu bukan sekadar mempertahankan tarian dan bahasa daerah. Lebih dari itu, menjaga tanah, laut, dan batas-batas adat adalah bagian dari merawat jati diri sebuah peradaban. Pulau-pulau itu merupakan bagian dari ekosistem budaya Aceh Singkil yang sudah lama hidup berdampingan dengan laut,” tegasnya.
Fiqram juga mengingatkan bahwa Aceh adalah wilayah yang pernah melalui masa konflik panjang, dan kini sedang membangun perdamaian yang rapuh namun berharga. Keputusan yang tidak bijak dari pemerintah pusat, menurutnya, berpotensi menghidupkan kembali rasa tidak percaya dan luka lama di kalangan masyarakat Aceh.
“Jangan usik perdamaian yang sudah dibangun dengan darah dan air mata. Jangan mainkan batas tanpa memahami ruh budaya di dalamnya. Pemerintah pusat harus lebih bijaksana dan membuka ruang dialog yang setara bersama masyarakat Aceh,” tambahnya.
Fiqram berharap polemik ini bisa diselesaikan secara adil dan terbuka, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dan penghormatan terhadap sejarah. Ia juga menyerukan agar budaya dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan, bukan hanya data administratif.